Menikmati Novel kelas XII
NOVEL Sepotong Narasi
Prolog
Episode kehidupan manusia berlalu lalang sesuai
ketentuan. Sebongkah cerita terajut bersama kain flanel. Baunya semerbak
wewangian yang dikenakan kyai-kyai diperjalanan menuju 1/3 malam muhasabah.
Ayu terbangun dari lamunan itu. Menatap kamar
berukuran 3 x 2 m, cukup sederhana memang. Tempat tidur tanpa dipan, lemari
baju mungil, dinding kamar lusuh bersama hiasan kata-kata sebagai motivasi
studi. Tidak ketinggalan pula, meja belajar kayu yang menjadi sahabat karibnya
disaat menyelesaikan tugas perkuliahan.
Lamunan Ayu tertuju pada masa itu.
***
Tiga mahasiswi dibebani tempat tinggal. Mencari
indekos di tengah padatnya jadwal perkuliahan sangat sulit. Sedangkan estimasi
waktu tersisa hanya 2 bulan. Tiga mahasiswi berlomba mencari indekos yang jauh
lebih baik dari sebelumnya, minimalnya tidak terusik oleh anak pemilik indekos
yang sudah berumah tangga.
Malam-malam yang bergulir menjadi petaka yang
dahsyat. Gejolak jiwa menyembul ketidaknyamaan di indekos. Batinnya terus
meronta ingin segera meninggalkan indekos ini. Tidurnya pun terombang-ambingkan
keadaan. Faktanya belum ada harapan.
Ayu ikut merasakan kegalauan dua rekan. Penawaran
kebersamaan dalam satu atap pun sempat diutarakan. Dua rekan menolak. Ayu tak
bisa memaksa. Ayu memilih indekos itu karena dekat dengan pintu samping kampus
meski secara pembayaran jauh lebih mahal dari pada indekos sebelumnya.
Komunikasi terjeda. Kabar gembira dan sedih jarang
diketahui satu sama lain. Tiga mahasiswi telah memiliki kehidupan
masing-masing. Berbeda dengan dua rekan yang masih bersama di indekos baru.
Ayu mulai merasakan rindu masa bercerita dengan
dua rekan menjelang tidur. Kebetulan di indekos terdahulu yang terjebak oleh
calo, tiga mahasiswi ini satu kamar. Kamar dengan ukuran cukup luas bisa
menampung dua dipan ukuran nomor dua, lemari baju dua pintu, dan 1 set
peralatan meja belajar beserta kursi.
Perjumpaan
Tanya
Seiring waktu Tuhan mulai berkehendak. Garis
pantulan kehidupan mengarah pada perjumpaan. Ayu bertemu dengan rekan yang
berkuliah dijurusan Fakultas Ekonomi Prodi Akuntansi. Pada pandangan kabur,
tampak senyum yang tak asing bagi masing-masing pihak yang beradu pandang jarak
2 meter.
“Hei, cuy,” sapa rekan Akuntansi sambil bersalam
semut.
“Ya Allah..!” kejut Ayu menyambut salam semut
darinya.
Rekan Akuntansi tersenyum lebar. Kalimat sindiran
halus berakhir pada jawaban.
“Alhamdulillah.”
“Kapan nih bisa pulang bareng?” sambung pertanyaan
Ayu.
“Benar itu, aku juga kangen kebiasaanmu di bus.”
Setelah kebutuhan bulanan mereka telah terpenuhi
di Mini market. Keduanya melangkahkan Kaki ke indekos baru melewati arah jalan
setapak yang sama. Indekos Ayu terletak di ujung gang dekat dengan pintu
samping kampus sedangkan dua rekan di ujung lorong komplek rumah warga.
Jalan Kaki
merupakan rutinitas yang digemari mahasiswa seperti mereka yang tidak dibekali
kendaraan. Mereka menyambung obrolan kembali sebagai warna setapak dan penawar
sejuta rindu.
“Krasan tidak di indekos yang baru?” tanya rekan
Akuntansi.
Dia hanya tersenyum dan berkata. “Ternyata kamu
masih ingat kebiasaannya.”
“Satu tahun hidup bersama. Setidaknya masih ada
kenangan yang tersimpan rapi bersama kalian.”
“Bagaimana juga hubunganmu dengan Gandi?” celetuk
rekan Akuntansi.
“Halah nggak usah ngelombo. Sering pergi bareng
sama Gandikan?” ledek rekan Akuntansi.
Ayu tidak kehabisan akal. Kata ledekan dari rekan
Akutansi mengeluarkan kata lombo yang
berarti bohong. Ayu jadikan sebagai
senjata untuk menyerang balik rekan Akuntansi. “Lombo itu untuk masak?” taktik
Ayu.
“Itu lombok, Ayu,” serunya, meneruskan. “Halah
gaya gengsi mengakui. Jujur saja, Bah!”
Ayu pun tak memberikan jawaban. Sifat Rekan
Akuntansi yang memaksa. Tidak menjadikan Ayu bertekuk lutut akan kebiasaan
jeleknya mengeluarkan statmen Bah disaat pembicaraan tak kunjung titik. Ayu
justru memberikan pertanyaan balik pada rekan Akuntansi. “Nafsu banget ingin
tahu hubunganku dengan Gandi.”
Rekan Akuntansi terkekeh. Lalu kembali
menjelaskan. “Mumpung ketemu dan ingat. Kebetulan waktu itu Teh Ita melihat
kamu di toko buku,” lontarnya begitu serius.
Ayu mengenal Teh Ita pada acara In House Training
ESQ mahasiswa baru. Panggilan Teteh yang disandangnya telah mempopulerkan
identitas Teh Ita yang berasal dari daerah barat.
“Oalahhh...Teh Ita. Pantes Sut..!” nama Sute
terhenti di ujung lidah. Kecurigaan itu pun sempat terblesit dipikiran rekan
Akuntansi.
“Ayoo...Siapa? Sutt..??” colek rekan Akuntansi.
Ayu ingin menyebutkan tetapi, pasti berbagai
pertanyaan akan timbul menerpa silih berganti. Ayu mencoba mengendalikan diri
agar tidak keceplosan menyebutkan nama. Bagaimana pun juga rekan Akuntansi
mengenali Sute yang sering main ke indekos terdahulu untuk berkerja kelompok
dengan rekan Matematika.
Padahal saat itu juga Ayu sedang dekat dengan
Gandi. Entah mengapa waktu terlalu pintar mengola kebersamaan Ayu, Sute maupun
Gandi. Keadaan ini membuat Ayu nyaman atas kehadiran jagoan yang silih berganti
mengisi warna hari-harinya.
Wajah rekan Akuntansi memancar bak mentari,
menyilaukan pandangan. Belum berakhir. Segudang pertanyaan kembali dijatuhkan
kepada Ayu.
“Kalian sudah jadiankah..???” tanyanya penasaran
disambut dengan pertanyaan yang lain. “Terus bagaimana dengan Gandi??”
Posisi seperti ini membuat Ayu semakin gemas.
“Tidak ada yang berubah darimu.”
Rekan Akuntansi pun tak puas. “Jawab dulu
pertanyaanku.”
“Aku
menikmati ini,” jawab Ayu sekenanya.
“Berarti kamu sudah putus dengan Gandi???”
lontarnya, meneruskan.
“Tidak menyangka kamu bisa jadian sama Sute. Wah,
makan-makan nih,” rayu rekan Akuntansi.
“Pasti ada konflik???” seru rekan Akuntansi.
“Pertanyaannya ada-ada saja,” senyumnya sedikit
sewot.
“Ayo masuk. Nggak enak banget ngobrol di depan
pintu gerbang,” bujuk Ayu.
“Nggak usahlah. Gampang,” tolaknya.
Rekan Akuntansi berpamitan saat Kak Ida baru
pulang dari kampus.
“Aku pulang dulu, Yu,” bersalaman.
“Mari Mbak,” Sapa rekan Akuntansi berpamitan juga
kepada Kak Ida.
Semasa
Asri
Semua tampak anggun dari yang terdahulu. Serba
lengkap dan tertata rapi. Tata kamar pada indekos ini memang berbeda. Perbedaan
ini terletak pada penomoran di setiap kamar. Penomoran pada setiap kamar
memudahkan penghuni indekos jika dikunjungi keluarga maupun teman.
Selain itu pula, masing-masing penghuni indekos
mempunyai benda elektronik seperti laptop dan printer. Laptop dan print menjadi
pelengkap kamar. Tujuannya agar tugas kuliah dapat diselesaikan dengan cepat
dan tepat. Secara perhitungan memang murah dan efisiensi waktu. Dibandingkan
mengerjakan tugas kuliah di warnet harus mengantre, membutuhkan waktu lama dan
menguras isi kantong.
Benda elektronik seperti laptop dan printer memang
sangat dibutuhkan ketika jumlah semester semakin meningkat. Ayu masih punya
banyak waktu untuk bisa mewujudkan benda elektronik itu.
Ayu menyapa Kak Ida yang baru pulang kuliah. “Baru
pulang kuliah, Kak?” membuka kunci kamar.
Kak Ida merupakan orang pertama yang ditemui Ayu.
Kesan pertama bertemu Kak Ida, Ayu enggan untuk mendekat. Tatapan pertama
membuat Ayu menyimpulkan Kak Ida orangnya jutek.
“Tidak Yu.
Habis menguji adik tingkat,” jawab Kak Ida sambil melepaskan alas Kaki.
“Kamu sudah makan belum?” sambung Kak Ida.
“Ow. Dikira
Kakak habis kuliah.”
“Jadi asisten dosen pusing nggak Kak?” tanya Ayu,
serius, mengabaikan pertanyaan dari Kak Ida.
Asisten dosen ini singkatan dari asdos. Salah satu
profesi di bidang mahasiswa. Selain sibuk kuliah dan mengerjakan skripsi. Kak
Ida juga menjadi asisten dosen di fakultas Farmasi.
“Makan yuk, lapar,” ajak Kak Ida.
Ayu meringis. Menyadari telah melewatkan
pertanyaan Kak Ida. Ayu pun segera menimpali ajakan tersebut. “Ayo Kak.
Kebetulan aku juga belum makan,” menyetujui tawaran Kak Ida untuk makan siang
bersama.
Ayu menaruh tas dan barang belanjaan di kamar
nomor 3. Kak Ida sendiri mengambil kontak motor yang tadi pagi tidak dipakai ke
kampus, di kamar nomor 5.
***
“Marwoto…..” teriak Kak Ami dari luar kamar.
Marwoto. Identitas baru yang disandang Ayu.
Panggilan Marwoto sering dilontarkan Kak Ami untuk Ayu. Alasannya, Ayu
ceplas-ceplos ketika bicara dengannya. Telinga Ayu pun tidak asing lagi dengan
sebutan itu. Julukan Marwoto pun tenar di indekos ini. Perasaan tersinggung
secuil pun tidak bersemanyam di hati Ayu.
“Dek Marwoto.”
Panggilan pendek dari Kak Ami. Tak membuatnya
berkutik. Kak Ami pun melanjutkan panggilan kedua dengan nada yang panjang.
“Marwoto..……..”
“Itu ada
teman cowok yang nyariin kamu.”
Getek. Kata yang terlontar dari Ayu saat ada yang
menyentuh bagian di atas pinggangnya. Kata getek Ayu dapatkan dari sabahat SMP.
Dahulu ketika bercanda dengan sabahat SMP. Saat
geli melanda. Tiba-tiba kata getek meluncur dari mulut sahabat SMP. Lambat laun
kata getek seperti mensugesti pikiran Ayu. Akhirnya, kata getek mendarah daging
dalam diri Ayu. Sebenarnya. Ayu pun tak paham betul. Kata getek itu berasal
dari daerah mana. Dalam bahasa jawa, getek mempunyai arti sejenis perahu kecil.
Kak Ami terus menggelitiki Ayu tanpa henti.
Teriakan minta ampun yang terus menggelembung tak dihiraukan Kak Ami. Kak Ami
terus menggelitiki Ayu.
Seketika candaan itu terhenti. Kak Ida yang telah
pergi bersama kekasihnya, Kak Ihsan. Masuk ke kamar Ayu. “Ayu, itu ada temannya,”
kata Kak Ida yang sudah mengenal tamu itu.
Ayu berfikir. Teman cowok tidak tertuju pada Sute
yang sempat bermain pesan singkat dengannya. Pikirannya menebak-nebak. Tidak
menentu ditunjukkan kepada siapa. Pada Gandi? mustahil. Semenjak obrolan Ayu
dengan Purwa di depan perpustakaan diketahui Gandi. Komunikasi Ayu dan Gandi
terputus.
Apa mungkin Purwa? Hendak menanyakan tugas kuliah.
Bayangan ini semakin kabur. Ayu segera bangkit dari tempat tidur tanpa
mengganti baju penutup aurat penuh.
Ayu tersenyum. Segera keluar. Meninggalkan Kak Ami
dan Kak Ida. Tanpa berkata terima kasih kepada kedua Kakak indekosnya itu. Kak
Ida dan Kak Ami yang melihat penampilan Ayu mengenakan celana mini dengan kaos
T-Shirt tergumun-gumun. Ini bukan kebiasaan Ayu berlaku seperti itu saat
menemui teman lelakinya. Ini kali pertama Ayu berpenampilan vulgar, tanpa
busana yang menutupi auratnya. Kak Ida dan Kak Ami bungkam. Ayu terlanjur
keluar.
Tamatnya ospek universitas. Tak menjadikan keduanya
tamat komunikasi. Keduanya malah bekerja sama disegala hal. Misalnya dalam
bidang akademik. Ayu yang menekuni bidang Bahasa dan Sastra sering membantu
Gandi menyelesaikan tugas makalahnya. Sebaliknya Gandi yang menggeluti bidang
Teknik Informatika juga sering mengajari Ayu cara membuat power point yang
bagus untuk presentasi.
MATA CINTA
Matamu bagaikan malaikat
Bulu matamu bagaikan sayap
Pancaran cahaya bersinar kesetiaan
Kejujuran tertanggakap dalam bola
matamu
Menyejukan hati sang pemandang
Kedipan keyakinan sebuah cinta yang abadi
Cinta dimatanya,
Jawaban kegelisaan
dalam matanya,
Lebih-lebih benci pada bola matanya.
Ini bukan mimpi sebelum tidur malam berlaku. Ini
sungguh nyata Ayu alami. Darah di tubuh mengalir jauh lebih cepat dari
biasanya. Keringat dingin bersemanyam di dinding tubuh. Gandi yang melihat
rambut tergerai dan body seksi yang terpampang mulus tanpa bekas luka tampak
tersepona. Seperti mimpi tetapi, kenyataan. Dengan rasa gugup Gandi menyapa
Ayu.
“Hai…, Ay,” terbatah. Menarik napas. Lalu,
meneruskan dengan keberanian.
“Bagaimanakah kabarmu?”
Ayu pun menjawab sapaan dengan canggung.
“Haa..ii..juga. Gan..di,” menelan ludah dengan keterkejutannya. Melanjutkan
menjawab tanya darinya. “Aku sehat. Bagaimana denganmu?”
Jawaban Ayu mengarahkan langkah menuju tempat
duduk yang tersedia di teras indekos. Gandi dan Ayu duduk berdampingan dengan
jarak tiga kepal tangan.
“Kamu tahu tidak??”
Gandi memegang tangan kanan Ayu. Ayu diam masih
tak mempercayai kalau teman lelaki yang ada dihadapannya ini adalah Gandi.
Lalu, melihat ke arah langit yang ditunjukkan menggunakan jari telunjuknya.
“Sebelum kesini sengaja tadi aku menghitung
bintang terlebih dahulu. Dan kamu tahu? Jumlah bintang di langit itu ada 1000.
Setelah aku hitung kembali bintang tersebut tinggal 998. Kamu tahu kemana
larinya dua bintang tersebut?”
Ucapan yang kian terlontar membuat bulu kuduk
bernuansa roman. “Dua bintang itu telah bersemayam dimatamu!” Sekejap Ayu
menundukan kepala. Ini bukan rasa yang biasanya. Kata-katanya yang semakin
menarik hati membuat gerak mulut ini semakin tidak bisa beroperasi seperti
biasanya yang cerewet.
Gandi mencoba mengangkat dagu Ayu. Hingga mereka
lagi-lagi beradu pandang. “Kamu lelah? Kenapa dari tadi diam saja? Apakah
kedatanganku kemari mengganggu aktivitasmu?” rentetnya.
“Maafkan aku yang tidak bisa mengendalikan
kejujuran ini. Aku benar-benar cemburu saat melihatmu berbicara dengan teman
sekelasmu. Kecemburuan itu hadir ketika aku melihatmu bisa tertawa bahagia
dengannya!”
“Maksudmu Purwa? Kamu cemburu!”
“Iya. Lantas kenapa kamu tidak
menanyakan ini padaku???”
“Inilah
bukti aku tidak bisa jauh darimu. Kamu telah mengerti siapa aku. Dan kamu
jugalah yang telah menyadarkan kecemburuan ini!”
“Ah, kamu ini selalu tak bosan
membual.”
“Itu tak akan pernah aku lakukan.
Perkataanku jujur terhadapmu,” mengelus rambut yang tergerai lembut. Ayu
semakin merasakan kecanggungan. Ayu tak inginkan sesuatu terjadi seromantis
ini.
Langkah gesekan Kaki menyentuh tanah hadir dari
arah gang. Ayu mulai membuka mata melihat mas Darji berjalan mendekati indekos.
Duduk bermesraan yang mulai berbatas satu genggam tangan mulai Ayu renggangkan
dengan melepas genggaman dari Gandi. Hati ini mulai tenang setelah merasakan
bermacam perasaan yang tidak menentu arah. Ayu memberi kode dengan menyapa mas
Darji.
Sapaan itu pun Ayu lakukan agar Gandi
mengurungkan niat aneh yang telah membuat Ayu salah tingkah.
“Mas Darji. Habis darimana mas?”
Mas Darji yang berjalan menata
pandangan. Seketika mengarah ke arah teras saat mendapat sapaan.
“Owh, Marwoto. Dikira siapa. Ini Mbak,
habis beli lampu di mini market.”
Kata Marwoto yang diucapkan mas Darji
membuat Ayu malu kepada Gandi.
“Lah,
pura-pura malu. Aku masuk dulu Mbak. Ets..tapi, ingat jam bertamu!” canda Mas
Darji saat mengingatkan jam tamu.
“Siap bos!”
“Marwoto??” celoteh Gandi saat mas
Darji masuk ke indekos.
“Hemm. Ikut-ikutan. Terusin saja,”
kesal Ayu.
“Memang bagus kok Marwoto,” ledek
Gandi tak henti-hentinya.
“Akhirnya kamu kesal juga sama aku.
Apapun perubahan wajah dan namamu. Kamu akan tetap menjadi yang indah di hati
ini Marwoto,” tawa sedap.
Ayu
merasa sebal dipanggil Marwoto oleh Gandi. Hingga wajahnya terus melipat.
“Sudah dong jangan cemberut. Tadikan
aku cuma bercanda,” memohon dengan berjongkok. Ayu risi. Tak ingin hawa aneh
terulang kembali. Ayu langsung meluncurkan senyuman hangat.
Gandi berdiri dari jongkoknya. Memandang arloji
yang mengikat tangan kirinya.
“Kurasa malam ini cukup mencairkan rindu yang satu
bulan telah membeku. Aku pulang dulu Ay. Kamu nanti langsung tidur. Nggak boleh
bergadang seperti aku!” celetuk Gandi.
Ayu mengerutkan bibir bawahnya lagi. Gandi melaju
dengan motornya. Cemberut itu tak berselang lama. Senyum pun terbawa masuk
sambil bersua lantang memanggil nama Kak Ami
yang telah mengsyahkan nama Marwoto untuk Ayu.
“Kak Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…………,”
teriak Ayu melangkahkan Kaki menuju kamar nomor 4.
“Ceilee…pacaran terus sama mamas
Ardi,” goda Ayu.
“Brisik kamu. Mentang-mentang habis
diapelin. Memang kamu saja yang bisa diapelin. Aku juga nggak mau kalah. Meski
hanya lewat chatingan. Ha ha ha…” tawa lantang Kak Ami memecahkan keheningan indekos.
“Yeeeee…gaya loe, Kak. Mantap. Nggak
mau kalah sama anak muda,” kekeh Ayu.
“Loe piker, gue sudah tuwek? Jangan
salah, jiwa mudaku masih membara di dada.”
Ayu hanya mengerutkan mulut. Kak Ida
yang sedang chating juga di kamar berceloteh indah hingga membuat tubuh ini
berbunga.
“Sweet…sweet…yang lagi kasmaran. Baru saja
diapelin masih saja kangen. Ehm..ehmm…” ledek Kak Ida.
“Marwoto apa Da?” sahut Kak Ami
“Siapa lagi,” singkat Kak Ida.
“Ada
apa sih Kak?” tanya Ayu dengan polos.
“Pura-pura tidak tahu nih yeeee…”
ledek Kak Ida.
“Maksudnya..?” mendekati Kak Ida
dengan kebingungannya.
Kak Ida membacakan status jejaring sosial milik Gandi
yang baru saja 2 menit di update.
Malam ini begitu
indah bisa menatap bintang dimatanya. Semoga aku selalu bisa menjaga tidur
indahnya.
“Cie…romantisnya setelah satu bulan
tidak bertemu. Terus Sute mau dikemanain?” ceplos Kak Ida.
“Kak Ida loh. Sute nggak akan
kemana-mana kok. Dia sudah terlelap dikamarnya! He he..” santai Ayu.
“Wah-wah. Adikku play girl sejati nih,” timpal Kak Ida.
Ayu tersipu malu. “Ih, apaan sih Kak,”
mengalihkan pembicaraan. “Kak Ida. Kak Ida. Kak Ida tahu ngak?”
“Ih,
makanya dengerin,” pinta Ayu, meneruskan. “Aku mau curhat. Tadi lucu banget pas
aku lagi ngobrol sama Gandi.”
“Ahai..ngobrol apa ngobrol. Jadi,
malam ini temanya Gandi nih bukan Sute atahu yang lain….?” ledek Kak Ida lagi.
“Ah, jangan begitu.”
“Ini gara-gara Kak Ami manggil aku Marwoto. Mas
Darji jadi ikut-ikutan manggil aku Marwoto. Masa tadi pas aku lagi sama Gandi
duduk di teras, mas Darji manggil aku Marwoto. Aku kan jadi malu sama Gandi,”
gerutu Ayu dengan kekesalan.
“Malah ketawa.”
“Memang lucukan!”
Kak Ami yang mendengar tawaan itu,
menghentikan dirinya chating. Bergegas melangkahkan Kaki ke kamar Kak Ida untuk
ikut nimbrung meramaikan suasana.
“Kenapa kamu Marwoto. Tadi sebut-sebut
namaku??” tantang Kak Ami.
“Apalah…” cemberut Ayu.
“Iya
tuh Kak. Kak Ami kan sumber masalah!”
“Eitss… tidak bisa. Yang muda itu
selalu salah!”
Mendengar lantangan kata yang terucap,
Ayu tertawa hebat tanpa kendali. Huahaaaaaaaaa……
Dengan sigap Kak Ida menghentikan
tawaan tersebut “Hus, sudah malam. Nggak enak sama yang lain,” Ayu langsung
menutup mulutnya dan memperkecil suara tawanya.
“Habis pernyataan Kak Ami malam ini
mengakui bahwa dirinya lebih tuwek dariku! He..”
Malam semakin melaju menuju peradaban.
Menyegerakan makhluk pada buaian mimpi. Canda tawa romansa cinta telah menjadi
teman terindah dalam perjalanan hidup setiap insan. Malam ini begitu
menakjubkan membawa banyak cerita yang tumpah bersama manusia-manusia beda
karakter.
Komentar