Sembilan Penjuru

Satu, Raib

Matahari terus membungkus panas. Kemarau panjang semakin membuat pikiran panas ikut mendidih. Tubuh sehatnya pun ikut dibalut emosi yang berkepanjangan. Ucapan kasar yang mendarat di telinga membuatnya kebal. Sabar menjadi sahabat karibnya saat ini sebab tak ingin hati terzalimi lebih lama lagi.

Tegar masih tidak mempercayai menjalani ujian hidup ini. Berhari-hari mengalurkan rangkaian peristiwa yang dialami dengan berdiam diri dan berteman sunyi. Nyatanya semuanya telah raib. Tegar lemah. Tegar putus asa. Tegar terpuruk. Selera makan pun semakin buruk. Berat badannya turun dratis. Takdir yang mampir dirasa sangat tak adil.

Kebiasaan Tegar setiap hari menyisihkan uang saku untuk melunasi administrasi sekolah setelah lulus nanti. Gagal. Niat baik Tegar meringankan beban orang tua. Kandas. Narasi kehidupan Tegar berkata lain. Hebatnya, Tegar menyimpan ujian ini sendiri. Dia tak berani menceritakan kepada siapa pun termasuk kepada orang tuanya. Tegar berusaha tegar seperti namanya meski jiwanya terguncang sangat hebat.

Tulat Tegar menggeledah seluruh laci di kelas saat pulang sekolah. Uang lembaran kertas pecahan dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan dengan jumlah hampir dua juta tetap saja tidak ketemu. Tegar hanya bisa mengelus dada. Mencurigai salah satu teman sekelas pun tidak baik.

Tegar masih ingat betul. Hari itu hasratnya ingin membuka rekening di bank konvensional. Merasa uang pecahan dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan yang dikumpulkan dari sisa uang saku sudah sesak di botol aqua. Dia pun memutuskan untuk membawa uang tabungan ke sekolah. Cerobohnya uang tabungan yang terbungkus plastik hitam ditaruh di laci kelas. Kebetulan juga pada hari itu KBM dilaksanakan 4 jam di bengkel, 3 jam di perpustakaan, dan 2 jam di mushola.

Usai pulang sekolah, Tegar baru menyadari telah menaruh uang di laci. Mengetahui uang tabungannya yang ditaruh di laci tidak ada. Dia sempat kaget. Dia terus mencari uang tabungan di tas, ditumpukan buku, dompet, dan ruang-ruang kecil yang ada di dalam tas berulang kali. Hasilnya, tetap sama, uang tabungannya telah raib entah kemana.

Kehilangan uang tabungan membuat Tegar pulang paling akhir. Dia pun rela ditinggalkan teman-temanya pulang lebih dahulu. Dia terus memastikan akan ada keajaiban. Namun, usahanya belum berbuah hasil. Usaha yang dilakukan untuk menemukan uang tabungan terbungkus plastik hitam yang sudah raib pun sering dijumpai oleh Pak Kasman penjaga sekolahan yang selalu keliling kelas jika siswa-siswa telah pulang sekolah.

Pak Kasman menjumpai Tegar di kelas dengan posisi sedang mengamati laci. Ketika pertanyaan menghampiri Tegar, dia selalu memberikan jawaban yang asal.

“Sedang mencari busur, Pak.”

“Pulpelnya ketinggalan,Pak.”

“Werpaknya mau dibawa pulang, Pak.”

Jawaban yang disampaikan Tegar pun selalu dipercaya begitu saja oleh Pak Kasman yang tepat setia menunggunya di depan pintu. Padahal Pak Kasman setiap menjumpai Tegar selama tiga hari berturut-turut. Tegar sedang mengamati laci pada posisi baris meja yang berbeda-beda. Bukan pada tempatnya dia duduknya, dibarisan 3 dari selatan meja nomor 1.

Herannya lagi Pak Kasman menunggui Tegar sampai keluar kelas. Ini yang membuat Tegar tidak bisa melanjutkan untuk mengelegah semua laci yang ada dikelasnya. Tegar pun tidak menyalahkan Pak Kasman. Bagaimana pun Pak Kasman bertanggung jawab untuk mengunci kelas setelah 30 menit KBM berakhir.

Keluar kelas, Tegar tak lupa memakai topi usangnya itu. Topi dengan warna yang sudah memudar masih diidolakan. Bagi dia topi itu sangat berharga. Topi itu pula yang telah mengajarinya menjadi anak yang gemar menabung. Tradisi menabung yang sudah lama dibangun. Kini, saldo tabungan telah pupus.

Tegar tak lupa mencium punggung tangan Pak Kasman sambil berkata “Aku Pulang, Pak.”

Pak Kasman yang sedang menutup pintu dan menguncinya, menimpali kata pamit yang telah dilontarkan oleh Tegar. “Hati-hati, Nak Tegar.”

Dua, Orang Tua Sakit

Dua bulan berlalu. Tragedi kehilangan uang tabungan lambat laun mengikis dari pikiran. Sedikit demi sedikit Tegar belajar merelakan. Meski tak dipungkiri hal itu sangatlah berat. Bayangan uang yang dimiliki, belum pernah digunakan untuk membelanjakan sesuatu atau apa pun tetapi, sudah lenyap tanpa jejak. Gengaman tangan dengan sejumlah uang yang tidak begitu banyak atau sedikit masih terasa. Tersisa, hanya botol aqua kosong yang menjadi saksi dalam kamarnya.

Tegar masih tetap semangat menabung. Uang saku yang didapatkan setiap hari dari orang tuanya selalu disisakan. Kebutuhan sekolah mendesak seperti apa pun. Prinsipnya harus ada yang disimpan setiap harinya. Tegar lebih mengutamakan menabung daripada memikirkan berat badanya yang semakin ringan.

Niat dan kegigihan Tegar meraih cita-cita tak main-main. Semangatnya bersemayam setiap hari dalam tindakan. Didikan seorang Bapak yang selalu mengajari untuk bertanggung jawab dalam hidup melekat dijiwanya.

Terus terang orang tua Tegar tidak pernah menyuruhnya untuk melakukan pekerjaan rumah. Tugasnya hanya belajar yang rajin, pulang sekolah tepat waktu, dan memberitahu jika akan keluar rumah untuk bermain.

Kasih sayang orang tua Tegar yang luar biasa terhadapnya tak disalahgunakan. Bagi Tegar mengerjakan pekerjaan rumah melatih bekerja dari pekerjaan yang paling kecil. Ilmu ini Tegar dapatkan dari Bu Yas. Bu Yas selaku guru Bahasa Indonesia di sekolah pernah menyampaikan, “Mulailah bekerja dengan mengenal pekerjaan yang paling kecil seperti menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak air.” Perkataan singkat itu selalu Tegar ingat baik di telinga dan disimpan rapi dalam otaknya. Dari perkataan mutiara itu pula, membuatnya tertarik dengan mapel Bahasa Indonesia yang identik dengan bacaan.

Awalnya Tegar tidak begitu tertarik dengan pelajaran Bahasa Indonesia yang diisinya hanya ceramah. Baginya pembelajaran yang disampaikan dengan model demonstrasi tidak menantang. Seorang siswa akan merasa bosan jika tidak ada gerakan dalam pembelajaran. Apalagi jika tugasnya hanya itu-itu saja. Mendengarkan penjelasan guru dilanjut mengerjakan soal. Sangat biasa.

 Namun, selama satu bulan ini belajar Bahasa Indonesia dengan Bu Yas. Tegar merasa punya ketertarikan lebih terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Yas selalu mengkaitkan ilmu bahasa Indonesia dengan kehidupan sehari-hari. Beliau juga selalu memotivasi siswa-siswa dengan kata-kata sahaja. Dari situlah Tegar mendalami bahasa Indonesia.

***


Komentar

Unknown mengatakan…
Sekar Dwi Lutfiana
Unknown mengatakan…
Muhamad Haris Fadilah
Unknown mengatakan…
Yeni Nurkhasanah
Unknown mengatakan…
Siti Zubaidah
Siti ma'muroh mengatakan…
SITI MA'MUROH
KHAVID BAGAS RIYADI mengatakan…
KHAVID Bagas Riyadi
Unknown mengatakan…
Nizar alwi
Unknown mengatakan…
Imam mahmuji putra
Unknown mengatakan…
Sardianto
Unknown mengatakan…
Restu adianata
Andriyas Rakha Abimanyu mengatakan…
Tegar
Bu Yas
Pak kasman
Orang tua tegar
Fiaizal Ade mengatakan…
Saya merasa terinspirasi dengan sifat tokoh,dia tegar dalam menghadapi cobaan yang datang,dan dia bisa melupakan/mengikhlaskan cobaan yg sudah terjadi,dan juga bisa bangkit kembali tanpa memikirkan kegagalan yang pernah di alaminya,
Anonim mengatakan…
Sesuai nama toko tegar begitu tegar menghadapi cobaan seperti apapun sang sabar dan pantang menyerah untuk menggapai cita citanya

Postingan populer dari blog ini