Perkuat Peserta Didik dengan
Budaya Literasi
Membaca menurut Mr.
Juel dalam Buku Mr. Sandjaja (2005) adalah sebuah proses untuk dapat
mengenal/memadukan kata-kata menjadi arti kata dalam kalimat dan struktur kata.
Kegiatan membaca tidak terlepas dari buku. Buku diibaratkan sebagai sarana yang
membangun dan meningkatkan budaya literasi masyarakat Indonesia.
Buku sebagai budaya
literasi ialah buku yang bermutu. Dengan buku yang bermutu diharapkan dapat
membangun peradaban bangsa melalui budaya literasi. Sama halnya dengan
pengertian Sistem Perbukuan yang tertuang dalam UU No. 3 Tahun
2017.
Sistem perbukuan
didefinisikan sebagai tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggungjawabkan
secara menyeluruh dan terpadu mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan,
pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan
pengawasan buku. Tata kelola buku dan penggerak budaya literasi tentunya
membutuhkan kerja sama yang baik dari semua elemen yang ada.
Berdasarkan survei
UNESCO, budaya membaca masyarakat Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara
yang paling rendah di kawasan ASEAN. Artinya, hanya ada satu orang saja
dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca sangat tinggi. Rendahnya
minat baca masyarakat Indonesia menjadi polemik di bidang pendidikan
khsususnya.
Literasi
digadang-gadangkan sebagai kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis
bagi pembaca. Literasi juga berfungsi sebagai akses ilmu pengetahuan dan
teknologi agar dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. Manusia sebagai
kapasitas sumber daya manusia sekaligus sebagai masalah dalam keberlangsungan
budaya literasi.
Buku merupakan pusat
budaya literasi yang memuat nilai-nilai dan jati diri bangsa Indonesia. Sasaran
utama dari budaya literasi yang pasti adalah peserta didik. Dimana peserta
didik nantinya akan meneruskan kehidupan dimasa yang akan datang. Dari sinilah
peserta didik mempunyai peranan yang sangat fundamental.
Peserta didik tidak
akan mampu menjadi penggerak budaya literasi. Apabila kurang stimulus dari
guru, orang tua, dan lingkungan. Lemahnya pondasi diri dan kurangnya dukungan
dari berbagai pihak akan menyebabkan terpuruknya literasi. Disamping itu pula,
budaya literasi tidak begitu maskimal digalakan oleh pemerintah.
Pemerintah provinsi
dipercaya untuk meningkatkan minat membaca melalui naskah buku yang bermutu
sedangkan pemerintah kabupaten/ kota yang dan dipercaya memfasilitasi tumbuhnya
toko buku diwilayahnya. Namun, seiring perjalanan yang ada. Terkadang belum
terlaksana dengan baik.
Kondisi macam itu
persis dengan isi artikel yang berjudul Gerakan Menebar
"Virus" literasi yang terbit di kompas edisi 30 Juni 2016
halaman 13. Penebar literasi berusaha semaksimal mungkin untuk menebar virus
literasi tanpa harus menunggu RUU Sistem Perbukuan yang belum kelar dibahas.
Lemahnya sumber daya
manusia sebagai pondasi literasi berdampak pada kapasitas sumber daya manusia
dalam memperkuat budaya literasi. Budaya literasi ini tidak boleh diaplikasikan
secara setengah-setengah. Harus adanya kolaborasi yang jitu dari peserta didik,
guru, orang tua, lingkungan setempat, dan pemerintah setempat.
Minat baca pada diri
peserta didik akan tumbuh dan terus berkembang. Dengan beberapa alternatif yang
ditawarkan. Pemerintah setempat wajib melaksanakan tugas dengan cara
menyediakan naskah buku yang bermutu dan memfasilitasi tumbuhnya toko buku di
wilayah tertentu agar dapat meningkatkan minat baca bagi peserta didik
khususunya dan guru , orang tua, serta lingkungan pada umumnya.
Pemerintah provinsi dan
Pemerintah kabupaten/kota sebagai pengawas sistem perbukuan perlu mengadakan training
attitude. Training attitude ini bertumpu pada sumber daya manusia
sebagai penggerak budaya literasi. Training attitude ini bertujuan
agar peserta didik, guru, orang tua dan lingkungan mengetahui betul bagaimana
cara menjadi penggerak budaya literasi yang baik dan benar. Dengan adanya training
attitude diharapkan peserta didik dapat mengetahui betul betapa
mewahnya melewati hari berteman dengan bacaan.
Kiat selanjutnya, dalam
menyukseskan gerakan budaya literasi. Perlu adanya Training skill yang
diadakan oleh guru untuk peserta didik. Tujuan training skill dapat
memupuk peserta didik agar dapat mempertahankan daya tahan/konsistensi budaya
literasi dari awal hingga akhir. Tidak hanya bersemangat di awal tetapi lemah
dikemudian hari.
Strategi berikutnya
peserta didik, guru, dan orang tua dapat mengalokasikan waktu untuk membaca
setiap hari minimal 10 - 15 menit. Kegiatan membaca 10 - 15 menit yang
dilakukan setiap hari sebagai pondasi dari budaya literasi. Sehingga, kecintaan
dalam membaca tidak pernah luntur.
Setelah mampu menguasai
hari dengan membaca minimal10 -15 menit. Peserta didik dapat membuat
target membaca. Target membaca bagi peserta didik dapat diawasi oleh guru.
Salah satu indikator pendidikan yang berkualitas di sebuah Negara adalah
kurikulum, sistem penilaian, dan buku teks pelajaran. Namun, seperti apapun
kurikulum dan sistem penilaian kunci utama di lapangan adalah guru. Persis
dengan budaya literasi, peserta didik tidak akan berhasil membuat target
membaca tanpa adanya peringatan dari guru.
Terakhir, peserta didik
berdiskusi dan bergabung dengan komunitas. Komunitas ini menunjang peserta
didik untuk selalu mengingat pentingnya dan manfaatnya membaca. Disini lah
peran penting orang tua dan lingkungan sebagai benteng pertahanan peserta didik
pada budaya literasi.
Budaya literasi sebagai
jati diri suatu bangsa. Sebagimana yang diungkapkan oleh Sastria Dharma penulis
buku Iqra (Jawa Post, 30 Agustus 2016 halaman 31) mengatakan bahwa membaca
adalah keterampilan paling penting, satu-satunya untuk bahagia, produktif, dan
berhasil. Maka jangan pernah membiarkan hari tanpa membaca sebab dengan membaca
setiap harinya akan bertambah ilmu.
Perintah membaca juga
sebagai wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk itu, jangan pernah
ragu mencintai bacaan. Mulailah untuk dapat menjadi penggerak literasi
sepanjang hanyat baik peserta didik, guru, orang tua, dan lingkungan setempat.
Komentar