Gelagat Seekor Kucing




Dini hari Sunarti sudah bersemangat mengayuh sepeda sayur menuju pasar. Dingin yang terus menembus kulit tak pernah dihiraukan. Bagi Sunarti tiba di pasar sebelum adzan berkumandang adalah anugrah. Alasan singkat pernah diungkapkan Sunarti, tiba di pasar lebih cepat agar bisa mengikuti subuh berjamaah di langgar (musala).

Pekerjaan Sunarti adalah berdagang sayuran di pasar. Kegiatan berdagang yang Sunarti jalani sudah mencapai hampir 20 tahun. Waktu berjualan yang cukup lama itu mampu mengantarkan dua anak perempuan Sunarti hingga ke jenjang sekolah menengah ke atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Rasa syukur yang melimpah selalu bersemanyam dalam diri Sunarti.

Sunarti selalu ingat akan kebutuhan primer dua anak perempuannya sebelum berangkat sekolah. Sunarti tidak pernah lupa membelikan sarapan di pasar. Sarapan yang sudah dibeli dan uang saku yang sudah dipersiapkan untuk dua anak perempuannya itu. Sunarti titipkan kepada Kang Darma tukang becak yang setiap hari membawa penumpang langganannya melewati desa Sunarti. Sunarti selalu berpesan.

“Misal lewat desaku. Terus anak perempuanku belum kelihatan di posko. Jangan diantarkan ke rumah. Dibiarkan saja. Sarapan dan uang saku milik anakku berarti menjadi rejeki untukmu, Kang.”

Pesan Sunarti sejujurnya membuat tukang becak itu merasa tidak enak hati. Namun, amanah pesan jauh lebih berharga daripada sebatas menyerahkan sarapan dan uang saku. Tukang becak yang sering dipanggil Kang oleh Sunarti itu pun memenuhi perintah Sunarti.

Sunarti melakukan ini supaya dua anak perempuannya bisa bertanggung jawab seperti dirinya sebagai seorang Ibu yang bertanggung jawab penuh akan kehidupan anak-anaknya setelah perceraian. Dua anak perempuan Sunarti pun demikian. Belajar tepat waktu setiap pagi agar sarapan dan uang sakunya tidak terlewatkan begitu saja.

Dua anak perempuan Sunarti pun sudah terbiasa dengan budaya ini setiap pagi. Menunggu Kang Darma di pos kampling samping jalan raya lewat dengan membawakan sarapan pagi dan uang saku.

Pukul 08.30 Sunarti sudah tiba di rumah. Sunarti sudah lupa wajah remaja nan anggun dua anak perempuannya menggunakan seragam sekolah lanjutan. Jika dua anak perempuannya pulang sekolah. Terkadang Sunarti terlelap atau bahkan sedang ke kebun untuk memetik sayuran yang akan dijual ke pasar untuk keesokan harinya. Meskipun begitu, Sunarti hanya bisa mensyukuri keadaan saat ini.

Sehari-hari Sunarti hanya bertemu dua anak perempuanya itu beberapa jam saja. Selepas isya Sunarti harus merebahkan badannya untuk melepas penat sedangkan, jika hari libur tiba Sunarti tetap melaksanakan aktivitas berjualan sayuran di pasar. Keadaan yang begitu membatasi gerak tatap muka antara Sunarti dengan dua anak perempuannya. Biar pun demikian, Sunarti tidak pernah menyalahkan pembuat skenario kehidupan.

Tiga hari berturut-turut. Pada malam hari di atas genting bagian dapur terdengar suara kucing kerah (kucing berantem). Mendengar kegaduan suara kucing Sunarti hanya diam tak mau melerai kucing kerah tersebut. Lain halnya dengan buah hati Sunarti yang pertama bernama Fadiyah. Fadiyah merasa sangat terganggu dengan suara kucing kerah. Setiap kucing kerah itu mengaum. Fadiyah langsung menuju ke dapur untuk memisahkan kucing kerah dengan cara memancungkan mulutnya hingga mengeluarkan suara huz huz huz.

Suara Fadiyah yang begitu keras tak membuat kucing kerah itu berhenti. Kucing kerah itu malah justru semakin menjadi layaknya orang sedang beradu mulut. Fadiyah pun semakin kesal. Akhirnya, Fadiyah mengambil sapu lalu, memukulkan sapu itu ke tembok dengan keras. Tenaga Fadiyah sempat terkuras saat menghentikan keganduhan dari kucing kerah itu. Perlahan Kucing kerah itu mulai merendahkan suaranya. Fadiyah mulai lega. Napasnya bisa diatur dengan baik. Namun, tak berhenti disitu omelan Sunarti melambung. Sunarti merasa istirahat malamnya terganggu oleh suara tembok yang telah sengaja dipukul Fadiyah.

“Nok, wes bengi. Mama arep istirahat.”

Mendengarkan suara Sunarti yang berarti Nok, sudah malam. Mama akan istirahat. Fadiyah langsung menghentikan pukulan itu. Kemudian meletakkan sapu ke tepatnya. Bergegas menuju ke kamar untuk meneruskan belajar. Faiqa, adiknya yang mengetahui Fadiyah mendapatkan omelan dari Sunarti malah meledek agar Kakaknya tidak sok-sok jadi pahlawan.

“Mulane Mbak aja sok dadi pahlawan (makanya Mbak jangan sok jadi pahlawana),” menjulurkan lidahnya.

Fadiyah merengut sambil berkata. “Berisik!” melanjutkan membaca materi bahasa Indonesia.

“Sudah tau menggangu malah nggak dilerai,” gumam Fadiyah melontarkan kata-kata menggunakan bahasa Indonesia.

Menangkap jawaban dengan menggunakan bahasa Indonesia. Faiqah langsung melirik. “Dilerai? Kucing dilerai!”

Faiqa tertawa lantang. Fadiyah pun salah tingkah. Fadiyah melempar bantal ke arah Faiqa yang sedang serius mencatat materi. Akhirnya, Fadiyah dan Faiqa saling melempar bantal. Kakak beradik itu tidak ada yang mau mengalah. Sunarti yang sudah terlelap dengan pulas pun tidak bisa menangkap suara gaduh dari dua anak perempuannya yang ada di kamar depan.

Setelah lelah bercanda, Fadiyah dan Faiqa berhenti. Mereka pun mengikuti jejak ibunya yang sudah terlebih dahulu beristirahat. Disela-sela pulasnya istirahat malam. Fadiyah kembali diganggu suara kucing kerah. Sangat berisik dari biasanya. Suaranya pun berubah-rubah. Terkadang suaranya seperti suara orang bertengkar. Terkadang juga seperti suara tangisan anak kecil.

Fadiyah sempat terbangun dan bangkit dari tempat tidur. Namun, tangannya dipegangi Faiqa dengan setengah kantuk. Sambil memejamkan mata Faiqa bersua.  “Mbak, ura usah ngurusi kucing. Turu bae. (Mbak jangan mengurusin kucing. Tidur saja).”

Fadiyah pun menuruti perintah Faiqa yang sebenarnya jika ditinggal di kamar saat tengah malam begini merasa ketakutan. Fadiyah kembali memejamkan mata meski rasanya sangat sulit. Aroma kekesalan menyelimuti hatinya. Fadiyah pun hanya bisa memandangi Faiqa yang sudah tertidur pulas. Sesekali Fadiyah mengusir anak nyamuk yang hinggap di sekitar wajah Faiqa.

Disela-sela memejamkan mata dengan terus menutupi telinga menggunakan bantal. Sunarti melangkahkan kaki menuju kamar depan. Menangkap suara orang melangkah Fadiyah semakin ingin keluar dari kamar akan tetapi, Fadiyah tidak bisa meninggalkan Faiqa sendirian.

Mata Fadiyah kembali terbuka. Kini pikirannya mulai tidak menentu. Fadiyah sempat terkejut ketika pintu kamar terbuka secara perlahan. Wajah lelah yang menghiasi mata Fadiyah adalah Sunarti. Sunarti menghampiri Fadiyah yang masih membuka mata dengan lebar. Sunarti mengecup kening Fadiyah sambil mengelus-elus jidadnya. Begitu juga dengan Faiqa yang sudah terbuai mimpi. Sunarti pun memperlakukan hal yang sama, mengecup dan mengelus jidad anak bungsunya itu.

 “Tadi sudah isya, kan?” tanya Sunarti disela-sela kantuk yang masih tersisa.

“Sudah Ma. Sudah makan juga sama belajar.”

“Ya sudah. Kalau seperti itu tidur lagi,” kata Sunarti.

Sunarti meninggalkan Fadiyah dan Faiqa. Langkah Sunarti terjeda oleh uluran tangan Fadiyah. Sunarti membalikkan badan. Kemudian kembali menghampiri Fadiyah yang masih belum bisa memejamkan mata. Fadiyah langsung merangkul Sunarti. Fadiyah membisikkan sesuatu kepada Sunarti. “Ma, aku sayang Mama,” kata Fadiyah dengan mata lebar yang belum dipenuhi rasa kantuk.

Pelukan itu semakin erat. Sunarti tak ingin melukiskan keharuan di mata Fadiyah. Sunarti pun tak ingin hanyut dalam nuansa haru ini. Sunarti bangkit dari kata-kata yang sempat melemahkan hatinya sesaat.

“Semuanya akan baik-baik saja, Nok,” tangguh Sunarti.

Sunarti menggenggam kedua tangan Fadiyah. Mata perempuan paruh baya  itu bertemu dengan mata putri sulungnya. Sebuah keyakinan mengudara menjadi sebuah atmosfer kebaikan. Angin yang berhembus menerobos jendela menjadi penyegar. Seekor nyamuk pun ikut bernyanyi mengiringi keharmonisan seorang Ibu dan anak. Dalam benak Sunarti dan Fadiyah, mereka bertiga tidak akan pernah lagi dipisahkan oleh hak asuh.

Fadiyah terlelap dengan pulas. Rona subuh pun menggelora. Mata yang terbuka lebar siap melaksanakan kegiatan pagi tanpa adanya wajah indah berseri dari seorang ibu. Fadiyah dan Faiqa kompak melaksanakan tugas pagi. Faiqa sepagi ini sangat bersemangat menunggu sarapan pagi dan uang saku di pos kampling.

Disaat Faiqa membuka pintu. Sosok pria paruh baya bertubuh tegap berada di halaman rumah. Faiqa terkejut. Kehadiran sosok pria paruh baya bertubuh tegap itu sangat tidak diharapkan. Semangat pagi yang tadi sempat menghuni tubuh Faiqa seketika luntur. Pria paruh baya  bertubuh tegap itu menyapa Faiqa.

“Apa kabar, Nak?”

Faiqa benci sapaan darinya. Faiqa pun menjawab dengan ketus. “Baik!”

Disambung dengan pertanyaan yang sinis. “Mau apa kemari?”

“Bapak, rindu anak-anak sholehah,” matanya berkaca-kaca.

Faiqa semakin membenci keadaan semacam ini. Rasanya ingin sekali menonjok pria yang ada di hadapannya saat ini. Faiqa pun tidak menimpali perkataan Bapaknya. Faiqa tetap berniat menuju pos kampling untuk menunggu sarapan dan uang saku. Teriakan lantang Faiqa suarakan untuk memanggil Fadiyah.

“Mbak. Aku ke pos kampling.”

Berjalan tepat di hadapan Bapaknya. Fadiyah yang mengetahui hal itu langsung memanggil Faiqa dengan nada tinggi.

“Faiqa!”

Faiqa pun tak menghiraukan. Faiqa tetap berjalan tanpa beban. Fadiyah pun tak ingin melestarikan suasana aneh ini. Fadiyah menghampiri Bapak yang masih berdiri di halaman rumah. Fadiyah mencium punggung tangan pria paruh baya yang disebut Bapak itu dengan penuh kasih sayang. Kemudian menyuruh Bapak masuk ke rumah sambil berucap.

“Maafkan Faiqa, Pak.”

Fadiyah masih bertanya-tanya. Mengapa Faiqa bisa sejahat itu pada Bapak? Padahal dari kecil Faiqa tidak pernah bisa lepas dari Bapak. Setiap Bapak pamit kerja. Faiqa menangisi. Setiap Faiqa pulang sekolah dan mengaji. Orang yang pertama dicari adalah Bapak.

Bapak menimpali permintaan maaf dari Fadiyah dengan senyuman yang sumringah meski hatinya terlukai oleh perlakukan anak bungsungnya.

“Bapak sehat?” tanya Fadiyah yang hendak membuatkan teh hangat.

“Alhamdulillah, Nak. Kedatangan Bapak kesini karena Bapak rindu anak-anak sholehah.”

Fadiyah berkaca-kaca mendengarkan ungkapan dari Bapak. Fadiyah pun Meminta izin ke belakang untuk membuatkan teh hangat. Bapak pun menolak.

“Sudah melihat wajah kalian saja. Bapak sudah bahagia.”

Bapak pun langsung mengutarakan maksudnya berkunjung ke rumah. Bapak memberikan amplop putih panjang yang berisi uang untuk kebutuhan Fadiyah dan Faiqa. Disaat Fadiyah akan menerima amplop. Faiqa masuk ke rumah. Melihat kejadian itu, tangan Faiqa langsung mengibaskan amplop itu. Sontak, Fadiyah terkejut.

“Jangan menjadi pengemis!” kasar Faiqa terhadap Fadiyah.

“Faiqa.” Rintih Fadiyah yang merasa miris melihat perlakukan adiknya yang begitu kasar.

“Kami, tak butuh uang. Kami tidak bisa dipisahkan!” serobot Faiqa tanpa henti dengan muka garangnya.

“Pergi dari rumah ini!” bentak Faiqa yang masih menenteng sarapan.

Pria paruh baya bertubuh tegap yang menggunakan jaket kulit berwarna hitam pun meninggalkan rumah. Langkahnya sangat berat. Kehadirannya ke rumah tanpa mendapatkan pelukan hangat dari anak-anak sholehah yang sudah lama ditinggalkan dan sangat dirindukan itu. Batinnya kembali dipenuhi penyesalan yang begitu mendalam sebab dahulu pernah berusaha memisahkan anak-anak solehahnya dari Sunarti saat kucing kerah sedang berlaga. (4Ramadankay, Jumat, 16 April 2021)

Komentar

Okah Sung Yakin mengatakan…
Keren.. 👍👍👍
Niken mengatakan…
Ceritanya sedih :(
bagus ceritanya mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
bagus ceritanya mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
bagus ceritanya mengatakan…
Mengena sekali ceritanya
Unknown mengatakan…
Masya allah..semakin bagus goresan penamu dek.. ceritanya bagus👍👍❤️. Doa terbaik untukmu semoga semakin sukses mencetak cerita.
Yudis mengatakan…
������
Rifqi dafa ananta mengatakan…
Wow keren banget Saya sampai hampir menangis
Mirza ayonima mengatakan…
YCCA (yang crita crita ajah)
arya mengatakan…
1. Sikap pada senarti yang selalu taat bangun pagi sebelum adzan subuh dikumandangkan di mushola.
2. Sunarti selalu bertanggung jawab dalam kehidupan layaknya seperti seorang ibu.
3. Sunarti selalu bersyukur
A ibnu hasan mengatakan…
Gunakanlah waktu sebaik-baik mungkin sebagaimana waktu adalah uang.
Sebagai ibu yang bertanggung jawab penuh akan kehidupan anak anaknya.
Sunarti selalu sabar dan bersyukur untuk menjalani hidupnya.
Surya mengatakan…
Sikap sabar dari bapak atas sikap ananknya yang kurang sopan bernama Faisal
Seorang ibu yang mengajarkan anaknya untuk bertanggung jawab
Abdul Aziz mengatakan…
-sikap taat sunarti setiap bangun tidur selalu sebelum adzan subuh di kumandangkan untuk melakukan sholat di musholla
-sunarti selalu bersyukur dan tidak pernah mengeluh atas kehidupannya
-sikap sabar dari bapak atas anaknya yang kurang sopan yang bernama faiqa
-seorang ibu yang mengajarkan anaknya untuk bertanggung jawab
Rani chojari mengatakan…
Cerita ini mengajarkan kita untuk selalu bertanggung jawab dan selalu sayang kepada saudara kita.

Postingan populer dari blog ini